MENGAPA KITA DICIPTAKAN
MENGAPA KITA DICIPTAKAN?
Dari Etika, Agama dan Mazhab Pemikiran
Menuju Penyempurnaan Manusia
Murtadha Muthahhari
Salah satu masalah fundamental yang harus diselesaikan oleh manusia adalah mencari tujuan hidupnya. Manusia selalu mengajukan beberapa pertanyaan seperti 'untuk apa dia hidup' serta ‘apakah yang semestinya menjadi tujuan hidupnya.
“Kita menerima kebenaran mutlak sebagai keniscayaan. Karena itu kita percaya keterbukaan pemikiran. Kita Menghargai pluralitas. Kita akan perjuangkan kebenaran Mutlak dengan keterbukaan dan pluralitas.”
Kita sering mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk mencari kebahagiaan dan ketenangan, dan Allah tidak membutuhkan sesuatu pun dari penciptaan itu, pun tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari keberadaan manusia yang telah diciptakan-Nya. Pada hakikatnya, manusia diciptakan dengan kehendak bebas, dan bimbingan Allah kepadanya hanyalah menyangkut hal hal yang berhubungan dengan ibadah dan iman saja, bukan tentang sesuatu yang menyangkut naluri dasar manusia. Oleh karena manusia memiliki kebebasan itulah, maka dia mempunyai kehendak untuk memilih kebaikan(maupun keburukan). Di dalam Alquran, Allah berfirman, “Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus, (namun) ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar.” (Q.S. 76: 3.) Akan tetapi, apakah makna kebahagiaan yang dimaksudkan oleh Alquran itu? Sering pula dikatakan bahwa tujuan penciptaan dan misi kenabian adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada manusia, karena dengan pengetahuan inilah, manusia mampu belajar terus menerus, serta memperoleh petunjuk dalam melakukan apa yang diinginkannya.
Oleh karena itu, tujuan diciptakannya sebutir benih adalah untuk mewujudkan potensinya menjadi tumbuhan yang matang. Demikian juga, seekor anak biri-biri diciptakan agar bisa menjadi biri-biri dewasa yang nantinya berguna bagi manusia. Namun, lebih dari penyederhanaan ini, potensi manusia jauh melebihi analogi penciptaan benih dan anak biri-biri tadi, manusia diciptakan untuk berpengetahuan dan berkemampuan. Semakin banyak yang diketahuinya, maka semakin banyak yang bisa dicapainya dengan pengetahuan itu. Dan ketika manusia semakin banyak mencapai tahapan-tahapan penyempurnaannya, maka dia semakin dekat pula pada tujuan kemanusiaannya.
Terkadang dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan dalam pengertian bahwa selama manusia itu hidup, maka dia harus menikmati manifestasi penciptaan, serta tidak mengalami gangguan yang disebabkan oleh makhluk selainnya.
Dan penerapan hukum Tuhan, kita mempunyai tiga konsep Logis.
Pertama, kita bisa katakan bahwa tujuan diutusnya para nabi adalah untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia agar mereka dapat hidup dengan tenang di dunia ini. Artinya, pengenalan dan iman kepada Allah dan hari akhir menjadi syarat awal dalam penegakan kehidupan yang adil tersebut.
Kedua, kita dapat mengasumsikan konsep sebaliknya bahwa para nabi itu diutus agar manusia dapat mengenal Tuhan dan mendekatkan diri pada-Nya sebagai tujuan utama. Dalam pengertian ini, keadilan adalah spiritualitas manusia yang sekunder yang dipersyaratkan dalam kehidupan sosialnya, yang mana kehidupan sosial yang damai tak mungkin tercapai tanpa hukum dan keadilan itu sendiri. Dalam konsep kedua ini, penghambaan kepada Tuhan memerlukan hukum dan keadilan menjadi syarat awal. Jadi meskipun kita harus memperhatikan berbagai masalah-masalah sosial yang banyak terjadi selama ini sebagai sesuatu yang penting dalam hubungannya dengan tujuan diutusnya para nabi, namun tetap saja kita menganggap bahwa persoalan itu adalah bagian sekunder.
Ketiga, kita memisahkan antara misi para nabi di satu sisi dan tujuan penciptaan di sisi yang lain. Dalam hal ini, kita dapat menganggap bahwa salah satu dari tujuan itu adalah tujuan utama sedangkan yang kedua adalah tujuan pelengkap. Kita dapat mengatakan bahwa para nabi memiliki dua tujuan yang independen; pertama adalah sebagai penghubung antara Tuhan dan makhluk Ia dalam menemukan bentuk perbudakan yang tepat, dan yang kedua adalah menciptakan keadilan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, kita dapat menghilangkan asumsi yang membuat salah satu tujuan menjadi prasyarat untuk tujuan lainnya.
Islam mengatakan, kebahagiaan hakiki itu hanya akan bisa dicapai dalam pengejawantahan konsep tauhid secara sempurna, yakni segala sesuatunya dimuarakan hanya kepada Allah SWT.
Menurut Alquran, manusia hanya dapat menikmati kebahagiaan yang datang dari Allah, karena hanya Dialah yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Allah berfirman, “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S.13:28). Hanya Allah yang dapat memberikan ketenteraman ke dalam hati-hati manusia yang diliputi Kecemasan dan ketakutan. Segala sesuatu selain-Nya hanyalah perantara saja, bukan sebagai penyebab itu sendiri. Sehingga ketika menyebutkan tentang salat, Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.” (QS. 20:14).
Selain itu, ketika menjelaskan tentang salat, Allah juga memberikan keterangan yang lain dalam firman Nya, “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Q.S.29:45).
Islam menegaskan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah dengan penghambaan yang sebenarnya, mengenal Allah dan mencari kedekatan kepada-Nya, karena hanya dengan jalan itulah manusia akan menemukan kekuatan. Namun harus dimengerti bahwa pengetahuan dan kekuatan, bahkan penyucian diri itu sendiri bukanlah tujuan, segala harapan dan tujuan perjalanan hanyalah untuk kembali kepada Allah sebagai tujuan akhir.
Kita meyakini bahwa tujuan yang sebenarnya adalah kebenaran, yakni Tuhan itu sendiri. Hanya tauhid yang diajarkan oleh Islam yang dapat memahami tujuan agung ini. Jika Islam menjanjikan tujuan-tujuan lain misalnya surga dan perlindungan dari neraka, semua itu hanyalah tujuan-tujuan sekunder saja. Hikmah dalam dirinya sendiri juga bukan tujuan, tetapi sarana untuk mencapai kebenaran. Demikian juga keadilan, ia hanya untuk menghilangkan kecenderungan sifat binatang
dalam diri manusia dan membuang pembatas-pembatas yang menjauhkan manusia dari jalan kebenaran. Dan tentang cinta, dengan segala pengaruh dan rasa yang ditimbulkannya, cinta membantu manusia mencapai kebenaran. Selanjutnya ada iman dan keyakinan. Apakah iman itu penting karena keberadaannya dapat. menghilangkan kecemasan, mencegah penindasan, dan menciptakan kesalingpercayaan (antar sesama)? Iman kepada Allah adalah tujuan itu sendiri. Adanya iman dengan semua pengaruhnya dalam hidup manusia menjadikan iman sebagai penghubung antara manusia dan Allah. Dan Islam memandang, hubungan seperti inilah yang menjadi jalan dalam proses penyempurnaan kemanusiaan, jalan yang tanpa batas dalam perjalanan panjang manusia kembali ke asalnya.
.
Komentar
Posting Komentar