BEBERAPA HUKUM ISLAM MENURUT 4 MADZHAB ULAMA

Nama : Sabrina Putri Andinie Nugroho

Prodi : pendidikan bahasa Inggris

Kelas : 1 c


 • Hukum Ziarah Kubur bagi Wanita Secara Umum

Sebagian besar ulama fiqih sepakat bahwa hukum ziarah kubur bagi laki-laki adalah sunnah. Akan tetapi teman-teman, terdapat perbedaan pendapat dari berbagai mazhab mengenai hukum berziarah bagi wanita lohh. Berikut ini adalah hukum ziarah kubur bagi wanita dalam 4 mazhab Ulama terkenal.

1. Mazhab Imam Hanafi

Dalam mazhab Hanafi, hukum ziarah kubur bagi wanita disesuaikan dengan kondisinya. Apabila ada kekhawatiran wanita tersebut akan menangis dan meratap histeris di kuburan atau menimbulkan fitnah, maka hukumnya adalah haram.

Namun, ziarah menjadi diperbolehkan bagi wanita jika kegiatan tersebut justru membuatnya mengingat kematian, tafakur, dan mengambil hikmah tanpa menangis berlebihan.

2. Mazhab Imam Maliki

Pandangan mengenai ziarah kubur dalam mazhab ini hampir mirip dengan mazhab Hanafi. Secara umum, hukum berziarah bagi wanita adalah boleh (mubah), selama tidak menimbulkan fitnah dan tangisan histeris.

Hukum ziarah kubur bagi wanita menjadi haram ketika wanita yang berusia muda dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, terutama saat datang bersama kerabat laki-laki yang bukan muhrimnya.

3. Mazhab Imam Syafi’i dan Hanbali

Menurut mazhab Syafi’i, hukum ziarah kubur bagi wanita adalah makruh, bukan haram. Wanita yang berziarah kubur tidak berdosa, tetapi akan lebih baik apabila tidak melakukannya. Pendapat serupa juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Hanbali. Ziarah kubur bagi wanita boleh dan tidak berdosa, namun lebih baik jika dilakukan tanpa rintihan kesedihan.

• Hukum Wanita Haid Membaca Al-Quran, Bolehkah ?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat apakah wanita yang sedang haid boleh membaca Al Qur`an ataukah tidak. Namun secara garis besar ada dua pendapat yaitu pendapat yang mengharamkan dan pendapat yang membolehkan. Pendapat yang mengharamkan. Pendapat yang mengharamkan adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yaitu mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Sedangkan pendapat yang membolehkan adalah pendapat dari mazhab Maliki dan Zhahiri.

Pendapat Yang Mengharamkan

1. Mazhab Hanafi

Dalam mazhab ini wanita yang haid dilarang membaca Al-Quran walaupun hanya sebagian dari potongan satu ayat yang sekiranya merupakan susunan kalimat yang difahami manusia. Namun tidak mengapa jika hanya membaca mufradatnya (kosa kata) saja dan juga tidak mengapa jika membacanya dengan niat berdzikir, memuji Allah Ta’ala tanpa meniatkan untuk membaca Al-Quran, kebolehan ini hanya berlaku jika ayat-ayat tersebut bernuansa doa tetapi jika ayatnya secara jelas tidak mengandung unsur doa maka haram membacanya seperti surah al-Masad.

Dalam mazhab ini juga dibolehkan membaca al-Quran dalam keadaan haid bagi seorang pengajar Al-Quran dengan syarat dia haruslah mengeja kata perkata. Dimakruhkan membaca ayat-ayat al-Quran yang telah dinasakh (dihapus) bacaannya. Adapun doa qunut, dzikir-dzikir dan doa-doa lainnya tidak diharamkan membacanya.

2. Mazhab Syafi’i

Dalam mazhab ini seorang wanita haid diharamkan membaca al-Quran walaupun hanya sebagian ayat, baik itu menggabungkan niat berdzikir dan membaca al-Quran ataupun hanya untuk membaca Al-Quran saja. Hal ini ditujukan agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan al-Quran. Namun boleh membaca ayat al-Quran yang bernuansa dzikir dan doa dengan syarat tidak meniatkan untuk membaca al-Quran.

3. Mazhab Hanbali

Dalam mazhab ini wanita yang sedang haid diharamkan membaca al-Quran baik itu satu ayat atau lebih. Namun jika membaca kalimat yang merupakan potongan dari satu ayat maka tidaklah mengapa selama ayat tersebut tidak panjang, begitu pula mengulang-ulanginya karena membaca sebagian kalimat dari satu ayat tidaklah menunjukkan kemu’jizatannya.

Pendapat Yang membolehkan

1. Mazhab Maliki

Dalam mazhab ini wanita yang sedang dalam masa haid dibolehkan membaca al-Quran secara muthlak, baik dia dalam keadaan junub ataupun tidak, khawatir lupa akan hapalannya ataupun tidak. Namun jika telah selesai masa haidnya maka haram baginya untuk membaca al-Quran sampai dia mensucikan diri dengan mandi janabah dan pendapat inilah yang mu’tamad dalam mazhab maliki ditengah adanya pendapat lemah yang membolehkannya untuk membaca al-Quran dengan Syarat tidak dalam keadaan junub sebelum masa haidnya datang.

2. Mazhab Zhahiri

Mazhab Zhahiri memiliki pendapat yang hampir sama dengan pendapat mazhab Maliki dan sangat berbeda dengan Jumhur ulama. Ibnu hazm perpendapat bahwa wanita haid boleh membaca al-Quran secara muthlak. Karena menurutnya membaca al-Quran adalah perbuatan baik dan berpahala dan bagi siapa yang berkeyakinan bahwa membacanya dalam keadaan tidak suci tidak diperbolehkan maka harus berdasarkan dalil. Adapun ayat al-Quran yang merupakan dalil larangan wanita haid membaca al-Quran yang berbunyi :] “Tidaklah menyentuhnya (al-Quran) kecuali orang-orang yang suci” (Q.S. Al-Waqi’ah : 79) Menurut Ibnu Hazm isi surah tersebut adalah khabar (berita) dan bukan larangan.

Dari semua mahzab yang sudah di paparkan Manakah yang kita pilih? Karena di Indonesia ini mayoritas masyarakatnya menerapkan mazhab Syafi’i maka kita bisa mengikuti pendapat mazhab ini yang mengharamkan seorang wanita haid membaca al-Quran walaupun sebagian ayat, baik itu menggabungkan niat berdzikir dan membaca al-Quran ataupun hanya untuk membaca Al-Quran saja. Namun diperbolehkan membaca ayat al-Quran yang bernuansa dzikir dan doa dengan syarat tidak meniatkan untuk membaca al-Quran.

Bagaimana Hukum Qunut Dalam Sholat menurut Macam -Macam Madzhab?

1. Menurut Madzhab Hanafi

Hukum qunut menurut mazhab hanafi

Dalam menjelaskan hukum qunut, Imam Hanafi mengacu pada surat Ali-Imran ayat 128 bahwasannya doa qunut tidak ada dalam sholat kecuali pada saat terkena musibah atau bencana. Namun qunut ini hanya bisa dilakukan ketika sholat subuh saja dan imam yang membacakan doa tersebut. Selain itu, doa qunut hanya dapat dilakukan ketika mendirikan sholat berjamaah saja, tidak dengan sholat munfarid.

2. Menurut Madzhab Maliki

Hukum qunut menurut mazhab maliki

Menurut Imam Maliki, yang juga mengacu pada surat Ali-Imran ayat 128, bahwa setelah diturunkan ayat tersebut Rasulullah SAW mengganti doa-doanya menjadi doa-doa kebaikan maka doa qunut diperbolehkan untuk dibaca dan Rasulullah SAW tidak melarangnya. Menurut Imam Maliki, doa qunut dilakukan setelah membaca surat pendek saat rakaat kedua tepat sebelum melakukan rukuk.

3. Menurut Madzhab Syafi’i

Hukum qunut menurut mazhab syafii

Imam Syafi’i memilih riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah melakukan doa qunut setelah rukuk atau saat I’tidal sebelum sujud. Selain itu, qunut juga hanya dilakukan pada sholat subuh saja dalam setiap keadaan dan tidak bisa dilakukan pada sholat wajib selain dari subuh. Terdapat sebuah pengecualian yaitu bisa dilakukan ketika sholat wajib kapan saja asalkan sedang tertimpa musibah.

4. Menurut Madzhab Hambali

Imam Hambali mengambil jalan tengah dalam menyikapi hukum qunut. Ia mengacu pada riwayat bahwa Rasulullah berdoa ketika surat Ali-Imran ayat 128 diturunkan dan kemudian tidak berdoa lagi setelahnya. Doa qunut itu dimaksudkan karena ketidakhadiran beliau pada peristiwa besar tersebut. Dari sini kemudian Imam Hambali mengatakan bahwa qunut dilakukan ketika ada peristiwa besar yang menuntut untuk disertakan doa oleh kita. Demikian bagaimana hukum qunut dalam macam-macam madzhab. Semoga kita bisa memilih untuk mengikuti mazhab yang mana karena sesungguhnya semua doa itu adalah hal yang baik selama doa itu mengandung kebaikan pula. Wallahua’lam.

• Wudhu Rasulullah SAW Menurut Empat Mazhab”. Praktik wudhu Rasulullah ini bersumber dari beberapa kitab-kitab fiqih matan empat mazhab.

1. Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Hanafi

Fardhu wudhu yaitu: (1) Membasuh Wajah, (2) Membasuh Tangan dan Juga Kedua Siku, (3) Mengusap Seperempat Kepala, dan (4) Membasuh Kaki dan Juga Kedua Mata Kaki. Sedangkan sunnah-sunnah wudhu yaitu: (1) Membasuh kedua tangan sampai ke pergelangan tangan sebanyak tiga kali sebelum mencelupkan tangannya ke dalam wadah air bagi yang baru bangun dari tidur, (2) Membaca tasmiyyah di awal wudhu, (3) Bersiwak, (4) Madhmadhah, (5) Istinsyaq, (6) Mengusap seluruh kepala dan kedua telinga dengan satu usapan air, (7) Takhlil jenggot dan ruas jari, (8) Membasuh tiga kali.

2. Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Maliki

Adapun fardhu wudhu ada 7 yaitu: (1 dan 2) Niat saat membasuh wajah, (3) Membasuh kedua tangan sampai kedua siku, (4) Mengusap seluruh kepala, (5) Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, (6) Faur/muwalah, (7) Tadlik/menggosok. Namun wajib atasmu saat membasuh wajah melakukan takhlil pada jenggotmu yang tipis, di mana kulitnya tampak terlihat. Adapun jika jenggotmu tebal, maka tidak wajib takhlil. Begitu juga wajib atasmu melakukan takhlil pada ruas-ruas jari, sebagaimana pendapat yang masyhur.

Sedangkan sunnah-sunnah wudhu ada 8: (1) Membasuh kedua tangan sampai pergelangan, (2) Madhmadhah, (3) Istinsyaq, (4) Istintsar; yaitu membuang air yang dimasukkan ke dalam hidup, (5) Mengusap kepala dengan membalikkannya dari belakang, (6) Mengusap sisi luar dan dalam telinga, (7) Mengusap telinga dengan air yang baru, dan (8) Tertib.

Adapun fadhilahnya (anjuran di bawah kualitas sunnah), ada 7: (1) Tasmiyyah, (2) Berwudhu di tempat yang suci, (3) Meminimalkan penggunaan air, (4) Meletakkan wadah air di atas tangan kanan, (5) Basuhan kedua dan ketiga, jika telah sempurna pada basuhan pertama, (6) Memulai usapan kepada dari arah depan, (7) BBersiwak

3. Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Syafi’i

Fardhu wudhu ada 6: (1) Niat saat membasuh wajah, (2) Membasuh wajah, (3) Membasuh kedua tangan dan juga kedua siku, (4) Mengusap sebagian kepala, (5) Membasuh kedua kaki dan juga kedua mata kaki, (6) Tertib anggota wudhu sebagaimana telah disebutkan.

 Adapun sunnah-sunnahnya ada 10: (1) Tasmiyyah, (2) Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air, (3) Madhamadhah, (4) Istinsyaq, (5) Membasuh sisi dalam dan luar telingan dengan air yang baru, (6) Takhlil jenggot yang tebal, (7) Takhlil ruas-ruas jari tangan dan kaki, (8) Mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas yang kiri, (9) Melakukan wudhu tiga kali-tiga kali, dan (10) Muwalah.

4. Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Hanbali

Fardhu wudhu ada 6: (1) Membasuh wajah termasuk madhamadhah dan istinsyaq, (2) Membasuh kedua tangan dan juga kedua siku, (3) Mengusap seluruh kepala termasuk kedua telinga, (4) Membasuh kedua kaki dan juga kedua mata kaki, (5) Tertib, dan (6) Muwalah.

 Adapun sunnah wudhu ada 18: (1) Menghadap kiblat, (2) Bersiwak, (3) Membasuh telapak tangan 3 kali, (4) Mendahulukan madhmadhah dan istinsyaq sebelum membasuh wajah, (5) Memperbanyak hirupan air dalam madhmadah dan istinsyaq, kecuali bagi orang yang berpuasa, (6) Menekan anggota wudhu yang dibasuh (dalk), (7) Memperbanyak basuhan di wajah –hingga ke sisi luar dan dalam-, (8) Takhlil jenggot yang tebal, (9) Takhlil ruas-ruas jari, (10) Membasuh telinga dengan air yang baru, (11) Mendahulukan anggota wudhu yang kanan atas kiri, (12) Melebihkan wilayah basuhan (tahjil), (13) Basuhan kedua dan ketiga, (14) Senantiasa berniat hingga wudhu selesai, (15) Berniat saat membasuh telapak tangan, (16) Membaca niat secara sirr, (17) Membaca dua kalimat syahadat setelah berwudhu dengan menghadapkan wajah ke langit, (18) Mandiri dalam berwudhu, tanpa bantuan orang lain.

Hukum Aurat Perempaun dengan Laki-laki Bukan Mahram

• Madzhab Syafi’i: Di depan laki-laki yang bukan mahram seluruh tubuh wanita adalah aurat (harus ditutup) kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Dalam kiab al-Umm juz I halaman 89, Imam Asy-Syafii berkata:

وكل المرأة عورة، إلا كفيها ووجهها. وظهر قدميها عورة

“Seluruh tubuh wanita itu aurat kecuali kedua telapak tangan dan wajah. Sedang bagian atas kaki adalah aurat (telapak kaki bukan aurat).”

• Madzhab Maliki: Madzhab Maliki sama dengan Madzhab Syafi’i bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Imam ‘Iyadh Rh. Imam Malik berkata:

ولا خلاف أن فرض ستر الوجه مما اختص به أزواج النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak ada perbedaan ulama mengenai wajibnya menutupi wajah wanita, itu (wajibnya menutupi wajah) termasuk salah satu kekhususan bagi para istri Nabi Saw.”

• Madzhab Hanafi: Seluruh ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa wajah dan kedua tangan perempuan boleh terbuka/bukan aurat. Dan laki-laki boleh memandang wajah perempuan asal tidak dengan syahwat. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar juz II halaman 392 menyatakan:

أبيح للناس أن ينظروا إلى ما ليس بمحرَّم عليهم من النساء إلى وجوههن وأكفهن، وحرم ذلك عليهم من أزواج النبي. وهو قول أبي حنيفة وأبي يوسف ومحمد رحمهم الله تعالى

“Diperbolehkan bagi seseorang untuk memandang sesuatu dari wanita yang tidak diharamkan baginya, yakni wajah dan telapak tangan mereka. Diharamkan yang demikian itu (memandangnya) adalah bagi para istri Nabi SAW. Hal ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf dan Muhammad rahimahullah taala.”

• Madzhab Hanbali: Madzhab Hanbali termasuk yang paling ketat dalam masalah aurat wanita. Dalam satu riwayat Imam Hanbal pendiri berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya, baik saat shalat maupun di luar shalat. Namun Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat lain menyatakan bahwa aurat wajah dan telapak tangan wanita yang bukan mahram. Imam al-Mardawi dalam kitab al-Inshaf juz I halaman 452 berkata:

الصحيح من المذهب أن الوجه ليس من العورة

“Bahwa yang benar dari Madzhab Hanbali adalah berpendapat wajah bukanlah aurat

• Hukum Menikahi Wanita yang Hamil Duluan, Haramkah?

Pertama Pendapat Imam Abu Hanifah

Pendapat Imam Abu Hanifah yang menjelaskan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.

Kedua Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal

Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita yang hamil, kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa ‘iddahnya.

Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah bertobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih belum boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.


Ke Tiga Pendapat Imam Asy-Syafi’i 

Pendapat Imam Asy-Syafi’i yang menerangkan bahwa baik laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.

Adapun pendapat yang mengharamkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain. Karena hal itu akan mengakibatkan rancunya nasab anak tersebut. Dalilnya adalah beberapa nash berikut, Nabi SAW bersabda: “Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim). Juga dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (HR Abu Daud dan Tirmizy).

Jadi kesimpulannya, jika seorang laki-laki menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain, hukumnya haram (menurut Imam Malik dan Imam Ahmad). Adapun bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya di luar nikah, maka hukumnya boleh. Sedangkan jika mengacu pada Kompilasi Hukum Islam, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.

MashaAllah ternyata Agama Islam sangatlah detail dalam menjelaskan Hukum-hukum dalam berbagai hal nya, tinggal kita sebagai manusia yang berilmu Pintar memilih dan bisa menerapkan nya dalam kehidupan kita sehari-hari agar bisa menjadi ladang pahala Wallahu alam bishawab.

Sekian dari penjabaran ku kurang lebih nya mohon

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :) 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TASAWUF MODERN MENURUT BUYA HAMKA

KELOMPOK EKSTRIMIS AL QAEDA